Diluar sana awan berarak tertiup angin, langit terlihat hitam dan mendung lalu membuncah seperti hatinya. Siapa nyana diambang maut saja Mbah Darmo mantan Priyayi pada Jaman Orba, (Orde mBahurekso) masuk kerangkeng alias bui, menjadi pesakitan. Bukan soal Korupsi, Kolusi dan Nepotisme. Tapi hanya soal peraturan baru sialan yang tak pernah Ia tahu. Bodohnya, mengapa Ia berhenti berlangganan televisi kabel dan Koran. Begini jadinya kalo otak berhenti di-upgrade.
***
Once upon a time, didusun Sumringah yang berada jauh di pedalaman Kerajaan Republik Alengka. Yang di pimpin oleh Raja Diraja yang amat bijaksana Maharadja Dosomuko, yang memberikan kebebasan apapun disegala bidang.
Kebebasan pers, kebebasan mengemukakan pendapat, kebebasan mufakat untuk seluruh rakyat. Saking bebasnya semua dapat mengemukakan apa kehendaknya dalam bentuk apapun. Surrealisme, abstrakisme, realisme apalah yang mengandung isme-isme yang penting bukan komunisme. Karena alengka paling alergi dengan komunisme.
Berbeda dengan dusun-dusun lain di Kerajaan Republik Alengka, (selanjutnya disingkat KeRA saja ya, sebab kepanjangan nulis Kerajaaan Republik Alengka) didusun Sumringah terkadang peraturan-peraturan dan undang-undang Negara di jalankan terlalu berlebihan pakemnya mirip rem sepeda si Jono. Tidak ada itu yang namanya fluktuatif atau fleksibelitas dalam rangkaian menjalankan UU dan peraturan. Semuanya pakai titik ndak pake koma-koma. Saklek! Ndak fixed rate. Kalau begitu ya tetap begitu. Walaupun UUD (ujung-ujungnya duit).
***
Suatu ketika dihari yang cerah mbah Darmo sang tetua dari kampung Sumringah selatan berjalan-jalan ke pasar kota dusun sumringah naik kuda tua juga miliknya. Yang “maaf” buang kotoran, gas emisi sembarangan dan seenaknya di jalan-jalan yang dilalui sang kuda tua. Pak ketua Polanras (unit Polisi anti kekerasan dan pemerasan) demi melihat kotoran di jalan yg becek dan berlubang cemas sebab Paduka Yang Mulia Raja Diraja Dosomuko hendak melewati jalan itu. Katanya mau janda (tinjauan mendadak).
Maka, dipanggilnya para punggawa-punggawa polanras untuk mencari asal-usul kotoran yang berserakan dengan joroknya. Padahal hari-hari biasa kotoran apapun yang berserakan dibiarkan saja. Hanya saja hari tersebut adalah hari istimewa. Pak Radja kan mau melintas jalan ini. Lubang-lubang pun ditambal. Rambu-rambu lalu lintas diperbaiki. Marka jalan dicat ulang. Kelihatan rapi dan jumawa.
Dikirimnya intel-intel terbaik didampingi oleh unit K9 (itu anjing pelacak yang mirip rin-tin-tin). Intel kok ketauan dia intel ya. Wong intelnya pake pistol gombyok kok nonjol di antara selangkangannya. Belum lagi anjing pelacaknya yang menyalak terus. Susah kalau pendidikan intel menyuap pelatih. Jadi gagal total di lapangan.
Tidak terlalu sukar, untuk melacak dari lubang kuda yang mana kotoran itu berasal. Sebab Mbah Darmo sering memberi jeruk kepada kudanya itu biar sehat dan kulitnya bagus. Tertangkaplah Ia, ketika sedang merokok daun kawung dibalai-balai malas depan rumahnya. Untung saja anjing pelacak yang menyalak terus diikat handlernya. Kalau tidak betis Mbah Darmo sudah rabies dicabik-cabik binatang itu.
***
Setelah dicocokan dan diteliti di Puslabfor Mabes Polanras. Memang cocok. Malah sangat cocok sebab kulit jeruknya sama dengan yang ada di kulkas simbah. Ada rajah “punya Darmo”. Sungguh terlalu, jeruk kok ditulisi.
Maka demi keadilan dan undang-undang yang berlaku di ajukanlah mbah darmo ke meja biru. Ke muka pengadilan. Biar kapok dan tahu rasa akibat membuang kotoran sembarangan.
Agar lebih adil dan bijaksana, maka praduga tak bersalah mesti tetap di jalankan. Di KeRA keadilan bagi seluruh rakyat di junjung tinggi. Maka Mbah Darmo memasuki tahapan verbal. Yaitu BAW (berita acara wawancara). Yang wawancara dari pihak Polanras Unit Cenayang. Sebab biar ketauan kalo bohong. Wawancaranya saja didampingi khadam alias jin hitam yang sebesar kerbau.
***
Apabila di Negara Republik Indonesia wawancara disebut interogasi. Maka di Negara KeRA ya BAW, agar kesannya lebih ramah, tamah dan sopan-santun. Walaupun kerap diruang wawancara terdengar suara jedug-jedug dan aw-aw-aw. Entah bunyi-bunyian apa itu. Seperti orang ditendang dan disundut api rokok.
***
Disebuah ruang sempit dan gelap. Lampu dinyalakan satu arah, kearah muka mbah darmo. Mirip film-film penyiksaan kamp nazi. Cenayang di depan mesin ketiknya yang sudah butut bertanya dengan senyum manisnya.
Disebuah ruang sempit dan gelap. Lampu dinyalakan satu arah, kearah muka mbah darmo. Mirip film-film penyiksaan kamp nazi. Cenayang di depan mesin ketiknya yang sudah butut bertanya dengan senyum manisnya.
“Simbah, kenapa kuda si mbah buang kotoran sembarangan?”
Mbah darmo sambil meringis, memegang dengkulnya yang lebam lalu menjawab perlahan hampir tak terdengar “Anu lho Pak Cen, kuda saya itu sudah peyot sudah tidak bisa menahan gejolak hajatnya lagi. Maklum kuda tahun 80-an”
Cenayang kaget sambil memukul meja “Lho yang betul sampeyan? Apakah Simbah ndak tahu kalau kuda tahun tua seperti itu harus dimusnahkan. Sebab kuda tua pasti sudah melebihi gas buang emisi. Bisa mengakibatkan efek rumah kaca. Global warming!! Sudah begitu eek sembarangan lagi. Itu melanggar perda pasal 2345 tentang ketertiban dan kebersihan. SiMbah bisa diganjar hukuman kurungan seumur hidup atau denda administrasi tiga juta kepeng emas. Dan karena pak radja mau lewat jalan itu, Si mbah bisa dituduh menaruh ranjau. Dan itu subversif!!”
Terkencing-kencing Simbah, seumur-umur baru kali ini Ia di bawa-bawa ke kantor Polanras. Sejak dulu tidak ada peraturan itu. Kudanya mau kencing kek, berak kek. Ndak masalah. Sekarang kok mesti di perkarakan. Dituduh subversive pula. Ini ndak adil! Begitu bathinnya berani berkata.
Diberanikan dirinya membela diri “Pak Cen yang baik hati, (padahal si mbah tadi sudah di tendang dengkulnya) bagaimana bisa saya di tuntut mengotori jalan raya. Bukannya saya sebagai warga yang baik sudah membayar pajak. Dan sebagian uang pajak itu sudah dibagi-bagikan kepada dinas kebersihan kota untuk membersihkan yang kotor-kotor bukan?”
“Hem, Simbah masih ngeyel rupanya. Kamu kira uang pajak kamu itu bisa membebaskan kamu dari tuntutan itu semua. Apakah Si mbah tahu kalau peraturan itu mesti dijalankan oleh semua warga Negara tidak terkecuali. Dan itu tidak ada hubungannya dengan bayar pajak. Semua memiliki hak dan kewajiban. Mengerti!!” satu tendangan mendarat lagi didengkulnya Simbah yang rapuh.
“Mana bisa begitu pak cen? Ini tidak adil. Lalu buat apa dinas kebersihan?” sergahnya di antara rintihannya.
“Shut up!! Orang tua kok ngeyel” Cenayang itu mengepalkan tinjunya kearah muka Mbah Darmo.
Si cenayang geleng-geleng kepala, Cenayang mulai lelah. Bau Pesing sudah ruangan wawancara ini. “Susah juga wawancara sama manula. Nanti keras-keras wawancaranya dibilang tidak punya hati nurani. Melanggar HAM. Bicara lemah lembut pun malah nanti hanya jadi omong kosong tanpa hasil. Sekarang malah pipis dicelana Simbah darmo ini.” Rutuk si Cenayang dalam hati.
Akhirnya cenayang menyerah. Ia berlaku lemah lembut. “Mudah-mudahan Simbah Darmo ini pintar” harapnya.
“Baik begini saja Mbah karena tuduhan Mbah ini banyak. Pertama, melanggar pasal ketertiban dan kebersihan yaitu, lalai membawa kuda tua ke jalan raya di denda tiga juta kepeng emas. Kedua, subversive karena dengan segaja atau tidak menaruh ranjau di jalan yang jelas-jelas akan di lalui oleh Maharadja. Ketiga, ternyata Simbah masih memakai kuda tua yang jelas-jelas menurut undang-undang kendaraan umum itu kelalaian mengendarai kuda tua akan didenda sebanyak tiga juta kepeng emas. Nah Simbah mau tuntutan ini semua atau pilih pasal yang ringan-ringan saja. Tetapi, diselesaikan secara adat, piye mbah?” Cenayang garuk-garuk dagu mudah-mudahan Simbah ngerti maksudnya, sambil membuka halaman buku peraturan yang tuduhannya ringan.
Simbah mengerti rupanya “Baiklah Pak cen, saya ambil yang ringan. Saya pilih peraturan yang ini saja. Mengembala kuda sembarangan” Sambil menunjuk kepada Kitab Peraturan Daerah.
“Baiklah, yang ini tuntutannya cuma tilang saja. Simbah bayar di bank seratus ribu kepeng perak dan kurungan badan tiga hari, setuju?” ujar Cenayang.
“Setuju!!” Simbah tersenyum girang. Kecil semua bisa diatur. Kalau begitu Ia tinggal telepon anaknya saja yang menjadi pengusaha kayu dihutan lohbener. “Horee, aku bebas!”. Melonjak hatinya.
“Eeeit, jangan teriak horee-horee dulu mbah.” Ujar Cenayang membuyarkan kemenangan Simbah. “Adat yang kita setujui bagaimana?” tangan si cenayang diarahkan ke atas dengan jari dan jempol di gerak-gerakan.
“Ooh maaf Pak cen…ada-ada itu pasti ada” ujar Simbah gugup. "Kok dia tahu apa yang kupikirkan ya. Cenayang brengsek!!" bathinnya menggerutu.
“Siapa mbah yang brengsek?” Cenayang itu melotot.
“Eh tidak-tidak” si mbah jadi gugup dan berkeringat. "Kok dia bisa-bisanya tahu apa yang kupikirkan, sialan." Lagi-lagi dia membathin, sambil mengelus dada keringnya.
“Sialan? Si mbah mau masuk penjara lebih lama lagi ya?” gertak si Cenayang.
“Aih…tidak. Suruh siapa Pak cen membaca bathinku terus-terusan. Kalau begini bisa rusak bisnis kita. Ini giro buat Pak cen lima juta kepeng emas. Bisa di ambil dua hari lagi” Mbah Darmo berkata, sambil menyerahkan selembar kertas kepada Cenayang.
Sumringah dan tersenyum puas Pak cen. Tapi ada kelicikan disana. Tak bisa di pahami oleh mbah darmo yang mulai lamur matanya. Padahal Mbah darmo dulu adalah mantan adipati di kadipaten Ora Krungu. Ia bisa lebih sadis dari cenayang itu. Tapi apa daya badan sudah lapuk dimakan usia. Apa-apa yang ada telah hilang. Itulah janji Yang Maha Kuasa bahwasanya seorang manusia akan di lebihkan umurnya namun akan di cabut pula nikmat badaniahnya perlahan-lahan. Kalam telah terjadi di setiap kelokan ruang dan waktu.
****
Keluarga Simbah kalang kabut bagai sopir angkot mengejar setoran. Di telepon sana-sini semua family. Kenalan. Rekan bisnis. Para penguasa. Untuk mengeluarkan si Mbah yang terkena perkara.
Apa yang terjadi benar-benar serius belum pernah satu orang pun anggota keluarga Trah Surdjojo yang menjadi pesakitan. Tidak pernah. Mereka keluarga yang kebal hukum. Hina rasanya. Lebih baik hamil diluar nikah dari pada dipenjara. Ini aib besar. Semua anggota keluarga diberi tugas masing-masing.
Kiyem, putri kedua mbah darmo pergi ke markas polanras. Langsung bertemu panglima polanras. Mengutarakan maksud dan tujuan. Berhasil. Mereka setuju.
Cak kimin, anak tertua Mbah Darmo langsung mengontak paman Jaksa yang menuntut mbah darmo. Dengan segala upaya agar di ringankan beban tuntutan kepada Mbah darmo. Berhasil. Paman Jaksa setuju.
Parto, anak bungsu menghubungi pihak Tuan Hakim. Lagi-lagi mereka setuju. Dan setuju.
Dodon ketua pengawal keluarga menghubungi pihak penjara agar mbah darmo diberikan pakaian layak, makanan layak, tempat tidur layak, dan pelayanan layak. Berhasil.
“Semuanya seratus juta kepeng emas, tuan” kata Cik Faisal, ketua keuangan Trah Surdjojo kepada Cak Kimin.
Cak kimin diam membatu.
***
Tiga hari kemudian.
Masih didalam kerangkeng dengan memakai pakaian penjara. Mbah darmo dipanggil oleh seorang sipir yang berkumis lebat. “Mbah sampeyan ganti baju, sekarang saatnya ke pengadilan”
Kaget bukan kepalang Mbah Darmo hampir saja Ia pingsan “Lho bukannya aku sudah bayar sama cenayang. Tiga hari aku di kurung lalu aku di bebaskan? Aku sudah bayar pula denda mengembala sembarangan? Ada apa ini? Kenapa aku masuk pengadilan? You’ve gotta be kidding me! Pir..” Mbah Darmo berdiplomasi.
Kaget bukan kepalang Mbah Darmo hampir saja Ia pingsan “Lho bukannya aku sudah bayar sama cenayang. Tiga hari aku di kurung lalu aku di bebaskan? Aku sudah bayar pula denda mengembala sembarangan? Ada apa ini? Kenapa aku masuk pengadilan? You’ve gotta be kidding me! Pir..” Mbah Darmo berdiplomasi.
“Shut up!! Ayo cepat Mbah. Don’t be willy nilly with me, I’ll pees on your head if you are not hurry up” sipir berkumis lebat itu mulai tak sabar.
Merutuk hatinya Mbah Darmo dalam-dalam. “Keadilan jenis apa ini? Aku kan sudah bayar. Persetan!!”
****
Hakim dengan jubah putih dan rambut putih mendehem tiga kali. Bukan karena batuk atau TBC, tapi memang itu gayanya agar terlihat wibawa. “Saudara Darmo Surdjojo apakah anda mengaku bersalah dengan dakwaan Negara kepada anda?” Tanya Tuan Hakim dengan suara yang terdengar seperti kilat di angkasa yang cerah.
“Tidak” mbah darmo lantang berkata diantara kekesalannya. Bagaimana tidak kesal. Sudah bayar biar tidak di sidang masih di sidang. Bahkan tuntutannya pun tidak berkurang sama sekali. Masih tiga tuntutan yang diancamkan si Cenayang sialan itu.
“Menurut undang-undang yang berlaku di Negara KeRA bila terdakwa tidak mengaku bersalah atas tuntutan ini maka sidang di lanjutkan untuk mencari keadilan dan bukti-bukti serta kesaksian dihadapkan ke muka pengadilan” palu diketuk tujuh kali.
“Mati aku” bathin mbah darmo meringis.
“Iya!! Aku mengaku bersalah. Aku bersalah membawa kudaku ke jalan raya. Aku sengaja membawa kudaku. Dan aku sengaja menyuruhnya berak di jalanan biar jalanan kotor. Biar kereta Raja kepeleset. Biar Raja cepat mampus!!” teriaknya sambil menangis dengan suara yang gemetar menahan kesal dan kesedihan. Ia pikir, sekarang nasi sudah menjadi bubur. Betapa sakit hati Ia di khianati Negara yang dulu Ia bela. Yang dulu Ia perjuangkan dengan darah dan keringat. Kini hanya karena kudanya buang kotoran saja Ia di penjara. Dengan tuntutan macam-macam pula. “Bah biar aku mati saja sekalian” keluhnya.
“Apa? Saudara mengaku bersalah?” Tuan Hakim ragu akan pendengarannya.
“Iya aku salah. Aku salah aku sengaja berbuat itu semua. Puas kalian dapat menyiksaku? Puas!!?” Teriakannya makin menjadi-jadi diantara tangis kekecewaannya.
Palu diketuk dua kali. “Sidang di tunda!!”, lalu Tuan Hakim memanggil Paman Jaksa, ke bilik kerjanya.
****
“Apa-apan ini? Kenapa sidang tahi kuda berkembang menjadi macam-macam. Jaksa macam apa kamu ini? Apa yang sebenarnya kamu tuntut dari orang jompo itu?” Tuan hakim gusar hingga gigi-ginya gemeretukan menahan amarah. Dilemparkannya satu bundle kertas tuntutan dari paman jaksa ke lantai.
“Tuan hakim, tuntutan itu berdasarkan penyidik-penyidik dari Polanras. Bukan saya yang bikin. Saya kan hanya menuntut saja.” Ujar paman Jaksa membela diri.
“Guooblok!! Harusnya sebelum kau lempar kesini kamu sidik dulu. Kamu paham tidak tentang semua itu?” Tuan Hakim makin geram.
“Hubungi panglima Polanras” perintahnya kepada paman jaksa.
Diengkolnya benda telekomunikasi itu. “Tidak ada jawaban, tuan” kata Paman Jaksa.
“Sini, biar aku yang telepon” diputarnya nomor Panglima Polanras. Setelah beberapa lama maka tersambunglah dengan Panglima.
“Hallo tuan Panglima, disini Tuan Hakim. Bagaimana itu tuntutan kepada Mbah Darmo? Apakah tetap tak berubah dari awal?” tanya Tuan Takim.
“Lha, saya itu kan cuma dapat sekian. Mungkin paman Jaksa yang akan meringankan. Dari saya cukup tiga tuntutan itu, menjadi dua tuntutan. Biayanya cukup menghilangkan satu tuntutan saja Tuan Hakim. Maaf, saya sedang sibuk tidak bisa berbicara terlalu lama. Terima kasih” klik. Ditutup sambungan dari sana.
"Nah, Paman Jaksa kenapa itu masih ada dua tuntutan kepada Mbah Darmo. Kenapa??!” Bentak Tuan Hakim dengan marah.
“Jangan salahkan saya dong Tuan Hakim. Kepada siapa keluarga Mbah darmo kasih itu titipan. Mungkin kepada paman jaksa lain yang saya gantikan ini. Berarti tidak ada sangkut pautnya dengan saya kan?” paman jaksa balik bertanya dengan penuh kemenangan.
“Sompret!” tuan Hakim menggeram. “Lalu bagaimana ini? Mau kita tuntut dengan dua tuntutan itu? Dimana mukaku ditaruh kalau begitu. Nanti aku disangka tidak professional” suaranya meninggi.
Paman jaksa mengerutkan keningnya “Baiklah tuan hakim. Begini saja, kita paruh-paruhan yang di berikan kepada anda. Lalu kita hukum seringan-ringannya Mbah Darmo. Setuju?”
Tersenyum tuan hakim. “Okay, deal!” mereka bersalaman.
“Biarlah jatahku berkurang, asal aku tidak kehilangan pelangganku yang lain” bathinnya terbahak.
***
“Hukumannya adalah menyapu sepanjang jalan yang Saudara Darmo Surdjojo kotori. Denda admnistratif sebesar dua ratus ribu kepeng perak. Dan kurungan badan satu bulan di potong tahanan.” Palu di ketuk 5 kali.
***
Termenung Mbah Darmo dalam sel kemewahannya. Membathin Ia, “you’ve gotta be kidding me, law. I paid you. But you’d betrayed me.” Ditulisnya tembok selnya “Darmo was here”.
“Negara alengka ini benar-benar ajaib dan loh jinawi, aku korupsi bermilyar-milyar kepeng emas tidak dituntut apa-apa. Hanya memberaki jalan raya aku malah dihukum. Sandiwara dunia terkadang lucu. Yang hitam bisa putih, yang putih bisa hitam. Dan aku ini abu-abu. Aku bisa apa saja. Dasar uang brengsek.” tersenyum sumringah Ia sambil memikirkan kuda tuanya yang diparkir diluar penjara.
“Kamu yang berengsek!!! Sudah tua masih ngeyel” terdengar suara dari balik tembok selnya.
“Wooii, Pak cenayang!! Kamu tuh yang berengsek. Orang tua masih kamu bohongi, dasar keparat!!” terbahak Mbah Darmo dengan pipinya yang keriput.
Oh dunia-dunia, benar-benar buah simalakama. Di makan salah, tak dimakan ya lapar. Piye iki si Mbah? Ra krungu tah.
******