Jumat, 19 November 2010

You've Gotta Be Kidding Me!!



Diluar sana awan berarak tertiup angin, langit terlihat hitam dan mendung lalu membuncah seperti hatinya. Siapa nyana diambang maut saja Mbah Darmo mantan Priyayi pada Jaman Orba, (Orde mBahurekso) masuk kerangkeng alias bui, menjadi pesakitan. Bukan soal Korupsi, Kolusi dan Nepotisme. Tapi hanya soal peraturan baru sialan yang tak pernah Ia tahu. Bodohnya, mengapa Ia berhenti berlangganan televisi kabel dan Koran. Begini jadinya kalo otak berhenti di-upgrade.

***
Once upon a time, didusun Sumringah yang berada jauh di pedalaman Kerajaan Republik Alengka. Yang di pimpin oleh Raja Diraja yang amat bijaksana Maharadja Dosomuko, yang memberikan kebebasan apapun disegala bidang.

Kebebasan pers, kebebasan mengemukakan pendapat, kebebasan mufakat untuk seluruh rakyat. Saking bebasnya semua dapat mengemukakan apa kehendaknya dalam bentuk apapun. Surrealisme, abstrakisme, realisme apalah yang mengandung isme-isme yang penting bukan komunisme. Karena alengka paling alergi dengan komunisme.

Berbeda dengan dusun-dusun lain di Kerajaan Republik Alengka, (selanjutnya disingkat KeRA saja ya, sebab kepanjangan nulis Kerajaaan Republik Alengka) didusun Sumringah terkadang peraturan-peraturan dan undang-undang Negara di jalankan terlalu berlebihan pakemnya mirip rem sepeda si Jono. Tidak ada itu yang namanya fluktuatif atau fleksibelitas dalam rangkaian menjalankan UU dan peraturan. Semuanya pakai titik ndak pake koma-koma. Saklek! Ndak fixed rate. Kalau begitu ya tetap begitu. Walaupun UUD (ujung-ujungnya duit).

***

Suatu ketika dihari yang cerah mbah Darmo sang tetua dari kampung Sumringah selatan berjalan-jalan ke pasar kota dusun sumringah naik kuda tua juga miliknya. Yang “maaf” buang kotoran, gas emisi sembarangan dan seenaknya di jalan-jalan yang dilalui sang kuda tua. Pak ketua Polanras (unit Polisi anti kekerasan dan pemerasan) demi melihat kotoran di jalan yg becek dan berlubang cemas sebab Paduka Yang Mulia Raja Diraja Dosomuko hendak melewati jalan itu. Katanya mau janda (tinjauan mendadak).

Maka, dipanggilnya para punggawa-punggawa polanras untuk mencari asal-usul kotoran yang berserakan dengan joroknya. Padahal hari-hari biasa kotoran apapun yang berserakan dibiarkan saja. Hanya saja hari tersebut adalah hari istimewa. Pak Radja kan mau melintas jalan ini. Lubang-lubang pun ditambal. Rambu-rambu lalu lintas diperbaiki. Marka jalan dicat ulang. Kelihatan rapi dan jumawa.

Dikirimnya intel-intel terbaik didampingi oleh unit K9 (itu anjing pelacak yang mirip rin-tin-tin). Intel kok ketauan dia intel ya. Wong intelnya pake pistol gombyok kok nonjol di antara selangkangannya. Belum lagi anjing pelacaknya yang menyalak terus. Susah kalau pendidikan intel menyuap pelatih. Jadi gagal total di lapangan.

Tidak terlalu sukar, untuk melacak dari lubang kuda yang mana kotoran itu berasal. Sebab Mbah Darmo sering memberi jeruk kepada kudanya itu biar sehat dan kulitnya bagus. Tertangkaplah Ia, ketika sedang merokok daun kawung dibalai-balai malas depan rumahnya. Untung saja anjing pelacak yang menyalak terus diikat handlernya. Kalau tidak betis Mbah Darmo sudah rabies dicabik-cabik binatang itu.

***

Setelah dicocokan dan diteliti di Puslabfor Mabes Polanras. Memang cocok. Malah sangat cocok sebab kulit jeruknya sama dengan yang ada di kulkas simbah. Ada rajah “punya Darmo”. Sungguh terlalu, jeruk kok ditulisi.


Maka demi keadilan dan undang-undang yang berlaku di ajukanlah mbah darmo ke meja biru. Ke muka pengadilan. Biar kapok dan tahu rasa akibat membuang kotoran sembarangan.

Agar lebih adil dan bijaksana, maka praduga tak bersalah mesti tetap di jalankan. Di KeRA keadilan bagi seluruh rakyat di junjung tinggi. Maka Mbah Darmo memasuki tahapan verbal. Yaitu BAW (berita acara wawancara). Yang wawancara dari pihak Polanras Unit Cenayang. Sebab biar ketauan kalo bohong. Wawancaranya saja didampingi khadam alias jin hitam yang sebesar kerbau.

***

Apabila di Negara Republik Indonesia wawancara disebut interogasi. Maka di Negara KeRA ya BAW, agar kesannya lebih ramah, tamah dan sopan-santun. Walaupun kerap diruang wawancara terdengar suara jedug-jedug dan aw-aw-aw. Entah bunyi-bunyian apa itu. Seperti orang ditendang dan disundut api rokok.

***

Disebuah ruang sempit dan gelap. Lampu dinyalakan satu arah, kearah muka mbah darmo. Mirip film-film penyiksaan kamp nazi. Cenayang di depan mesin ketiknya yang sudah butut bertanya dengan senyum manisnya.

“Simbah, kenapa kuda si mbah buang kotoran sembarangan?”

Mbah darmo sambil meringis, memegang dengkulnya yang lebam lalu menjawab perlahan hampir tak terdengar “Anu lho Pak Cen, kuda saya itu sudah peyot sudah tidak bisa menahan gejolak hajatnya lagi. Maklum kuda tahun 80-an”

Cenayang kaget sambil memukul meja “Lho yang betul sampeyan? Apakah Simbah ndak tahu kalau kuda tahun tua seperti itu harus dimusnahkan. Sebab kuda tua pasti sudah melebihi gas buang emisi. Bisa mengakibatkan efek rumah kaca. Global warming!! Sudah begitu eek sembarangan lagi. Itu melanggar perda pasal 2345 tentang ketertiban dan kebersihan. SiMbah bisa diganjar hukuman kurungan seumur hidup atau denda administrasi tiga juta kepeng emas. Dan karena pak radja mau lewat jalan itu, Si mbah bisa dituduh menaruh ranjau. Dan itu subversif!!”

Terkencing-kencing Simbah, seumur-umur baru kali ini Ia di bawa-bawa ke kantor Polanras. Sejak dulu tidak ada peraturan itu. Kudanya mau kencing kek, berak kek. Ndak masalah. Sekarang kok mesti di perkarakan. Dituduh subversive pula. Ini ndak adil! Begitu bathinnya berani berkata.

Diberanikan dirinya membela diri “Pak Cen yang baik hati, (padahal si mbah tadi sudah di tendang dengkulnya) bagaimana bisa saya di tuntut mengotori jalan raya. Bukannya saya sebagai warga yang baik sudah membayar pajak. Dan sebagian uang pajak itu sudah dibagi-bagikan kepada dinas kebersihan kota untuk membersihkan yang kotor-kotor bukan?”

“Hem, Simbah masih ngeyel rupanya. Kamu kira uang pajak kamu itu bisa membebaskan kamu dari tuntutan itu semua. Apakah Si mbah tahu kalau peraturan itu mesti dijalankan oleh semua warga Negara tidak terkecuali. Dan itu tidak ada hubungannya dengan bayar pajak. Semua memiliki hak dan kewajiban. Mengerti!!” satu tendangan mendarat lagi didengkulnya Simbah yang rapuh.

“Mana bisa begitu pak cen? Ini tidak adil. Lalu buat apa dinas kebersihan?” sergahnya di antara rintihannya.

“Shut up!! Orang tua kok ngeyel” Cenayang itu mengepalkan tinjunya kearah muka Mbah Darmo.

Si cenayang geleng-geleng kepala, Cenayang mulai lelah. Bau Pesing sudah ruangan wawancara ini. “Susah juga wawancara sama manula. Nanti keras-keras wawancaranya dibilang tidak punya hati nurani. Melanggar HAM. Bicara lemah lembut pun malah nanti hanya jadi omong kosong tanpa hasil. Sekarang malah pipis dicelana Simbah darmo ini.” Rutuk si Cenayang dalam hati.

Akhirnya cenayang menyerah. Ia berlaku lemah lembut. “Mudah-mudahan Simbah Darmo ini pintar” harapnya.

“Baik begini saja Mbah karena tuduhan Mbah ini banyak. Pertama, melanggar pasal ketertiban dan kebersihan yaitu, lalai membawa kuda tua ke jalan raya di denda tiga juta kepeng emas. Kedua, subversive karena dengan segaja atau tidak menaruh ranjau di jalan yang jelas-jelas akan di lalui oleh Maharadja. Ketiga, ternyata Simbah masih memakai kuda tua yang jelas-jelas menurut undang-undang kendaraan umum itu kelalaian mengendarai kuda tua akan didenda sebanyak tiga juta kepeng emas. Nah Simbah mau tuntutan ini semua atau pilih pasal yang ringan-ringan saja. Tetapi, diselesaikan secara adat, piye mbah?” Cenayang garuk-garuk dagu mudah-mudahan Simbah ngerti maksudnya, sambil membuka halaman buku peraturan yang tuduhannya ringan.

Simbah mengerti rupanya “Baiklah Pak cen, saya ambil yang ringan. Saya pilih peraturan yang ini saja. Mengembala kuda sembarangan” Sambil menunjuk kepada Kitab Peraturan Daerah.

“Baiklah, yang ini tuntutannya cuma tilang saja. Simbah bayar di bank seratus ribu kepeng perak dan kurungan badan tiga hari, setuju?” ujar Cenayang.

“Setuju!!” Simbah tersenyum girang. Kecil semua bisa diatur. Kalau begitu Ia tinggal telepon anaknya saja yang menjadi pengusaha kayu dihutan lohbener. “Horee, aku bebas!”. Melonjak hatinya.


“Eeeit, jangan teriak horee-horee dulu mbah.” Ujar Cenayang membuyarkan kemenangan Simbah. “Adat yang kita setujui bagaimana?” tangan si cenayang diarahkan ke atas dengan jari dan jempol di gerak-gerakan.


“Ooh maaf Pak cen…ada-ada itu pasti ada” ujar Simbah gugup. "Kok dia tahu apa yang kupikirkan ya. Cenayang brengsek!!" bathinnya menggerutu.


“Siapa mbah yang brengsek?” Cenayang itu melotot.

“Eh tidak-tidak” si mbah jadi gugup dan berkeringat. "Kok dia bisa-bisanya tahu apa yang kupikirkan, sialan." Lagi-lagi dia membathin, sambil mengelus dada keringnya.


“Sialan? Si mbah mau masuk penjara lebih lama lagi ya?” gertak si Cenayang.

“Aih…tidak. Suruh siapa Pak cen membaca bathinku terus-terusan. Kalau begini bisa rusak bisnis kita. Ini giro buat Pak cen lima juta kepeng emas. Bisa di ambil dua hari lagi” Mbah Darmo berkata, sambil menyerahkan selembar kertas kepada Cenayang.

Sumringah dan tersenyum puas Pak cen. Tapi ada kelicikan disana. Tak bisa di pahami oleh mbah darmo yang mulai lamur matanya. Padahal Mbah darmo dulu adalah mantan adipati di kadipaten Ora Krungu. Ia bisa lebih sadis dari cenayang itu. Tapi apa daya badan sudah lapuk dimakan usia. Apa-apa yang ada telah hilang. Itulah janji Yang Maha Kuasa bahwasanya seorang manusia akan di lebihkan umurnya namun akan di cabut pula nikmat badaniahnya perlahan-lahan. Kalam telah terjadi di setiap kelokan ruang dan waktu.

****

Keluarga Simbah kalang kabut bagai sopir angkot mengejar setoran. Di telepon sana-sini semua family. Kenalan. Rekan bisnis. Para penguasa. Untuk mengeluarkan si Mbah yang terkena perkara. 

Apa yang terjadi benar-benar serius belum pernah satu orang pun anggota keluarga Trah Surdjojo yang menjadi pesakitan. Tidak pernah. Mereka keluarga yang kebal hukum. Hina rasanya. Lebih baik hamil diluar nikah dari pada dipenjara. Ini aib besar. Semua anggota keluarga diberi tugas masing-masing.

Kiyem, putri kedua mbah darmo pergi ke markas polanras. Langsung bertemu panglima polanras. Mengutarakan maksud dan tujuan. Berhasil. Mereka setuju.


Cak kimin, anak tertua Mbah Darmo langsung mengontak paman Jaksa yang menuntut mbah darmo. Dengan segala upaya agar di ringankan beban tuntutan kepada Mbah darmo. Berhasil. Paman Jaksa setuju.

Parto, anak bungsu menghubungi pihak Tuan Hakim. Lagi-lagi mereka setuju. Dan setuju. 

Dodon ketua pengawal keluarga menghubungi pihak penjara agar mbah darmo diberikan pakaian layak, makanan layak, tempat tidur layak, dan pelayanan layak. Berhasil.

“Semuanya seratus juta kepeng emas, tuan” kata Cik Faisal, ketua keuangan Trah Surdjojo kepada Cak Kimin.

Cak kimin diam membatu.

***
Tiga hari kemudian.

Masih didalam kerangkeng dengan memakai pakaian penjara. Mbah darmo dipanggil oleh seorang sipir yang berkumis lebat. “Mbah sampeyan ganti baju, sekarang saatnya ke pengadilan”

Kaget bukan kepalang Mbah Darmo hampir saja Ia pingsan “Lho bukannya aku sudah bayar sama cenayang. Tiga hari aku di kurung lalu aku di bebaskan? Aku sudah bayar pula denda mengembala sembarangan? Ada apa ini? Kenapa aku masuk pengadilan? You’ve gotta be kidding me! Pir..” Mbah Darmo berdiplomasi.

“Shut up!! Ayo cepat Mbah. Don’t be willy nilly with me, I’ll pees on your head if you are not hurry up” sipir berkumis lebat itu mulai tak sabar.

Merutuk hatinya Mbah Darmo dalam-dalam. “Keadilan jenis apa ini? Aku kan sudah bayar. Persetan!!”

****

Hakim dengan jubah putih dan rambut putih mendehem tiga kali. Bukan karena batuk atau TBC, tapi memang itu gayanya agar terlihat wibawa. “Saudara Darmo Surdjojo apakah anda mengaku bersalah dengan dakwaan Negara kepada anda?” Tanya Tuan Hakim dengan suara yang terdengar seperti kilat di angkasa yang cerah.


“Tidak” mbah darmo lantang berkata diantara kekesalannya. Bagaimana tidak kesal. Sudah bayar biar tidak di sidang masih di sidang. Bahkan tuntutannya pun tidak berkurang sama sekali. Masih tiga tuntutan yang diancamkan si Cenayang sialan itu.


“Menurut undang-undang yang berlaku di Negara KeRA bila terdakwa tidak mengaku bersalah atas tuntutan ini maka sidang di lanjutkan untuk mencari keadilan dan bukti-bukti serta kesaksian dihadapkan ke muka pengadilan” palu diketuk tujuh kali.


“Mati aku” bathin mbah darmo meringis. 

“Iya!! Aku mengaku bersalah. Aku bersalah membawa kudaku ke jalan raya. Aku sengaja membawa kudaku. Dan aku sengaja menyuruhnya berak di jalanan biar jalanan kotor. Biar kereta Raja kepeleset. Biar Raja cepat mampus!!” teriaknya sambil menangis dengan suara yang gemetar menahan kesal dan kesedihan. Ia pikir, sekarang nasi sudah menjadi bubur. Betapa sakit hati Ia di khianati Negara yang dulu Ia bela. Yang dulu Ia perjuangkan dengan darah dan keringat. Kini hanya karena kudanya buang kotoran saja Ia di penjara. Dengan tuntutan macam-macam pula. “Bah biar aku mati saja sekalian” keluhnya.

“Apa? Saudara mengaku bersalah?” Tuan Hakim ragu akan pendengarannya.

“Iya aku salah. Aku salah aku sengaja berbuat itu semua. Puas kalian dapat menyiksaku? Puas!!?” Teriakannya makin menjadi-jadi diantara tangis kekecewaannya.

Palu diketuk dua kali. “Sidang di tunda!!”, lalu Tuan Hakim memanggil Paman Jaksa, ke bilik kerjanya.

****

“Apa-apan ini? Kenapa sidang tahi kuda berkembang menjadi macam-macam. Jaksa macam apa kamu ini? Apa yang sebenarnya kamu tuntut dari orang jompo itu?” Tuan hakim gusar hingga gigi-ginya gemeretukan menahan amarah. Dilemparkannya satu bundle kertas tuntutan dari paman jaksa ke lantai.

“Tuan hakim, tuntutan itu berdasarkan penyidik-penyidik dari Polanras. Bukan saya yang bikin. Saya kan hanya menuntut saja.” Ujar paman Jaksa membela diri.

“Guooblok!! Harusnya sebelum kau lempar kesini kamu sidik dulu. Kamu paham tidak tentang semua itu?” Tuan Hakim makin geram.

“Hubungi panglima Polanras” perintahnya kepada paman jaksa.

Diengkolnya benda telekomunikasi itu. “Tidak ada jawaban, tuan” kata Paman Jaksa.

“Sini, biar aku yang telepon” diputarnya nomor Panglima Polanras. Setelah beberapa lama maka tersambunglah dengan Panglima.

“Hallo tuan Panglima, disini Tuan Hakim. Bagaimana itu tuntutan kepada Mbah Darmo? Apakah tetap tak berubah dari awal?” tanya Tuan Takim.

“Lha, saya itu kan cuma dapat sekian. Mungkin paman Jaksa yang akan meringankan. Dari saya cukup tiga tuntutan itu, menjadi dua tuntutan. Biayanya cukup menghilangkan satu tuntutan saja Tuan Hakim. Maaf, saya sedang sibuk tidak bisa berbicara terlalu lama. Terima kasih” klik. Ditutup sambungan dari sana.

"Nah, Paman Jaksa kenapa itu masih ada dua tuntutan kepada Mbah Darmo. Kenapa??!” Bentak Tuan Hakim dengan marah.

“Jangan salahkan saya dong Tuan Hakim. Kepada siapa keluarga Mbah darmo kasih itu titipan. Mungkin kepada paman jaksa lain yang saya gantikan ini. Berarti tidak ada sangkut pautnya dengan saya kan?” paman jaksa balik bertanya dengan penuh kemenangan.

“Sompret!” tuan Hakim menggeram. “Lalu bagaimana ini? Mau kita tuntut dengan dua tuntutan itu? Dimana mukaku ditaruh kalau begitu. Nanti aku disangka tidak professional” suaranya meninggi.

Paman jaksa mengerutkan keningnya “Baiklah tuan hakim. Begini saja, kita paruh-paruhan yang di berikan kepada anda. Lalu kita hukum seringan-ringannya Mbah Darmo. Setuju?”

Tersenyum tuan hakim. “Okay, deal!” mereka bersalaman.

“Biarlah jatahku berkurang, asal aku tidak kehilangan pelangganku yang lain” bathinnya terbahak.

***

“Hukumannya adalah menyapu sepanjang jalan yang Saudara Darmo Surdjojo kotori. Denda admnistratif sebesar dua ratus ribu kepeng perak. Dan kurungan badan satu bulan di potong tahanan.” Palu di ketuk 5 kali.

***

Termenung Mbah Darmo dalam sel kemewahannya. Membathin Ia, “you’ve gotta be kidding me, law. I paid you. But you’d betrayed me.” Ditulisnya tembok selnya “Darmo was here”.


“Negara alengka ini benar-benar ajaib dan loh jinawi, aku korupsi bermilyar-milyar kepeng emas tidak dituntut apa-apa. Hanya memberaki jalan raya aku malah dihukum. Sandiwara dunia terkadang lucu. Yang hitam bisa putih, yang putih bisa hitam. Dan aku ini abu-abu. Aku bisa apa saja. Dasar uang brengsek.” tersenyum sumringah Ia sambil memikirkan kuda tuanya yang diparkir diluar penjara.

“Kamu yang berengsek!!! Sudah tua masih ngeyel” terdengar suara dari balik tembok selnya.

“Wooii, Pak cenayang!! Kamu tuh yang berengsek. Orang tua masih kamu bohongi, dasar keparat!!” terbahak Mbah Darmo dengan pipinya yang keriput.

Oh dunia-dunia, benar-benar buah simalakama. Di makan salah, tak dimakan ya lapar. Piye iki si Mbah? Ra krungu tah.

******

pelayanan publik

Selama ini pelayanan public di Indonesia di dominasi oleh pihak pemerintah. Dari pengurusan KTP, surat pindah, akta kelahiran sampai pada semua akses yang kita anggap biasa seperti naik kendaraan umum pun di kelola oleh pemerintah. 

Sebagai Negara yang semi liberal, swasta pun tidak kalah dalam hal pelayanan publiknya. Banyak sekali swasta memegang peranan dalam layanan public dari akses kendaraan umum hingga provider-provider canggih penyedia layanan komunikasi.

Pelayanan adalah suatu nilai dari puas atau tidak puas bagi customer. Penilaian-penilaian tersebut akan mengakar di benak kita, hingga kita akan menjadi suatu corong khusus untuk memberikan nilai plus atau minus bagi pelayanan yang di berikan mereka pada kita sebagai pemakai layanan khusus.

Baiklah sebelum lebih jauh kita berbicara pelayanan mari kita sisihkan dahulu pelayanan yang diberikan pemerintah maupun swasta. Kita akan melihat kultur pelayanan itu sendiri. Karena setiap bangsa akan memiliki hal yang berbeda dalam memberikan pelayanan public.

Entah bagaimana mulanya pelayanan public entah yg di kelola swasta maupun pemerintah kadang kurang menyenangkan di hati kita. Terkadang saya berpikir apakah hal ini di pengaruhi oleh rezim militer yang notabene 32 tahun memayungi kita ataukah memang factor kultur bangsa ini yang memiliki faham fatherelisme. 

Artinya factor kebapakan (fatherilisme) cenderung menganggap seseorang yang membutuhkan sesuatu itu lebih rendah dari yang memberi. Padahal dalam era pasar bebas kini pelayanan pada customer adalah merajakan mereka agar terus menerus menjadi pelanggan dari suatu usaha tertentu.


Saya pernah menjadi nasabah di salah satu bank pemerintah. Saya ketika itu masih belajar menabung dan bagaimana mengelola uang. Bagaimana para petugas bank pemerintah itu memberikan pelayanan dengan tampang yang serius tak pernah senyum seakan-akan memberikan pelayanan itu adalah beban. Padahal kita menabung adalah suatu bentuk disvestasi bagi perusahaan yang menggajinya. Tak jarang orang yang belum mengerti alur menabung di bentak-bentak seakan ketidak-tahuan adalah suatu kesalahan.

Namun lihatlah sekarang seiring berjalannya waktu bermunculan bank-bank swasta yang lebih memberikan sedikit penghargaan bagi para penabung (investor). Yang otomatis membuat saya pindah menabung ke bank swasta tersebut. Walaupun kini bank-bank pemerintah telah mendidik pegawainya agar lebih care kepada customernya. Tapi itu tidak menjadikan saya lebih tertarik untuk melakukan transaksi dengan mereka.

Image yang mengakar kuat telah menjadikan sesuatu menjadi hitam atau putih. Oleh karena itu apa yang saya dapat itu adalah apa yang saya pikirkan selama ini.
Terus terang saya pun salah satu karyawan disuatu instansi pemerintah. Yang harus melayani masyarakat. Bagaimana jeleknya image pada instansi saya yang di kenal kolusi tiga besar di Negara ini.

Bagaiamana saya berpikir dan memiliki pandangan yang buruk terhadap kinerja pemerintah dalam hal pelayanan public. Mungkin dimiliki juga oleh sebagian masyarakat di Indonesia. 

Memang tak dipungkiri bagaimana pun alasannya maka kinerja pemerintah adalah buruk. Bagaimana pun kerasnya usaha mereka kini untuk menuju iklim reformasi yang bersih dari KKN.

Pernah suatu ketika stakeholder mendatangi ruangan saya dalam kaitannya dengan pengurusan dokumen yang dimilikinya. Ia memaki-maki instansi saya bagaimana lambannya proses birokrasi yang ada dan tak bertanggung jawabnya manager saya yang mengabaikan keluhannya.

Sadar atau tidak sebagai manusia yang memiliki emosi dan perasaan, saya ingin pula melayani cacian dan makiannya. Hanya saja saya mencoba menahan diri agar hal-hal yang buruk tidak perlu terjadi. Setelah saya dengarkan keluhannya dan tentu saja makiannya. Saya berusaha untuk menenangkannya. Lalu sedikit demi sedikit memberikan bantuan. Hingga masalahnya berhasil terselesaikan tanpa ada konfrontasi yang memang tak perlu terjadi.

Memang saya akui kekurangan di instansi pemerintah adalah layanan penerangan atau informasi mengenai peraturan-peraturan yang berlaku bagi stakeholder. Terkadang mereka menganggap peraturan itu mengada-ada dan hanya memperpanjang meja yang harus mereka lewati dalam penyelesaian dokumennya.

Mungkin hal ini secara system harus dirubah secara fundamental agar sesuatu yang bersifat birokrat yang melewatkan belasan meja harus di hilangkan.


Oleh karena itu system secara elektronik telah di kembangkan diinstansi saya bekerja, semenjak sekitar 10 tahun yang lalu. Ketergantungan stakeholder dengan pegawai menjadi lebih sedikit. Karena di sinyalir dari banyaknya meja akan lebih memperpanjang proses looping dan itu adalah hal yang sangat membuang waktu, tenaga dan uang. 

Saya pernah melihat disuatu acara di indosiar bagaimana seorang bupati memberlakukan pelayanan dalam satu atap yang sekarang mulai kami kembangkan menjadi suatu system single window. Jadi para stakeholder tidak perlu mengurus suatu dokumen berpindah ke gedung sana ke gedung sini yang berjauhan. Cukup dalam satu ruangan hingga proses itu berlangsung hingga selesai.

Mudah-mudahan dengan pelayanan public yang lebih sistematis dan efisien tanpa pungutan-pungutan liar yang merugikan masyarakat dapat terwujud di republic Indonesia. Dan mudah-mudahan iklim investasi di Indonesia akan seramai di Negara-negara asia tenggara lainnya yang memberlakukan kemudahan-kemudahan dan perlindungan yang jelas bagi investor asing untuk menanam modal di Negara ini.

double density #1

Coba lihat kepada langit apa ada jawabnya.

Keputus-asaan dalam diriku telah mengakar kuat. Bahkan beberapa kali aku mencoba ingin mengakhiri hidupku. Tapi tak pernah terjadi
sekalipun aku melakukan hal itu, sering ku melamun terbengong dengan penuh cerita dalam otakku. 

Hingga suatu ketika aku menemukan diriku bertemankan dengan khayalanku sendiri. Yang begitu nyata disemua inderaku. Aku dapat mendengarnya tertawa, mendesah, berkata. Aku dapat melihatnya tersenyum, aku dapat melihat bentuk tubuhnya yang gemulai. Aku dapat merasakan deru napasnya, aku dapat memeluk raganya.  Semakin hari semakin banyak temanku, ada nenek tua berambut putih yang selalu bercerita kepadaku tentang masa lalu, tentang bagaimana manusia dahulu kala. Ada anak kecil yang selalu minta diajari segala hal tentang hidup, selalu mengajakku bercanda. Ada seorang gadis yg baik hati, yang selalu mau mendengarkanku berkeluh kesah. Ada seorang pemuda berandal yang selalu mengajakku untuk bersikap berani, berani menghadapi dunia ini, entah berapa teman lagi yg akan ku kenal nanti
.

Aku senang bertemu dengan mereka, aku bahkan lebih senang kepada mereka dari pada sesuatu disekelilingku. Aku bisa bercanda, tertawa penuh bahagia
, mereka tak pernah menuntutku harus melakukan ini-itu.

Aku mulai hanyut oleh permainan pikiranku, tak pernah sedikitpun aku mengingat siputih kucingku yg kurawat semenjak kutemukan di pinggir got rumahku, aku lupa kehadiran siputih yg selalu mengeong menuntut kasih sayang dan sedikit makanan dari tuannya
.

Aku sudah masuk ke dunia lain, duniaku sendiri. Dunia yang menyenangkan
, tak ada lagi kekerasan, kebrutalan dan caci maki dari masyarakat yang penuh dengan sinisme.

Aku hidup tentram disini, hingga suatu waktu.

Mulutku di bekap bagai sandera. Kakiku dirantai bagai tahanan berbahaya. Tanganku diikat kebelakang dengan jaket bertali
, entah apa ini, entah mengapa aku berada disini, diruang yang sempit, polos tak berbenda, tapi tempat ini nyaman. Sayup suara terdengar dari liang kecil dibawah pintu. Benar, ini mirip pintu, tapi tak seperti pintu. Ada selarik suara manusia saling berbicara.

Ku teriak, tapi tak jelas suaraku ini, tak jelas aku berkata apa
. Hatiku ingin memanggil nenek tua itu, nenek tua berambut putih, hanya dia yg mampu menenangkanku, tapi kemana dia? Kupanggil anak kecil itu, yang selalu tertawa bersamaku. Sunyi terdiam seribu bahasa. Semua telah kuteriakan namanya, tak ada yg menghampiriku.

Tuhan dimana aku? Surga kah
? Neraka kah?? 
Begitu hampa…kau beri rasa…kini dimanakah aku…??

Aku selalu bertanya, kenapa aku tak merasakan apa-apa lagi? Kemana teman ku?  kemana semua duniaku?

Aku selalu merasa lelah dan mengantuk!

Tanganku tak lagi berpengikat, kakiku tak lagi di rantai, mulutku tak lagi di bekap bagai anjing rabies.

Kuraba wajahku, kuraba badanku-lengkap-semua masih pada posisinya.

Kulihat pergelangan tanganku, biru lebam, kulihat tanganku lagi, owh Tuhan, apa ini?? Bekas suntikan?? Aku di suntik! Jahanam!!

Aku benci jarum suntik, aku paling takut jarum suntik. Aku selalu kabur dari sekolah ketika ada imunisasi cacar datang ke sekolahku ketika aku bersekolah SD. Aku benci orang-orang itu, orang-orang yg berseragam putih. Mereka selalu menyakitiku. Aku selalu dipaksa untuk menelan butiran zat kimia, yang selalu membuat jantungku berdetak amat keras. Mereka yang dulu menyakiti ibuku juga, yg selalu membuat ibuku mengeluarkan air mata di sudut matanya menahan nyeri yang menggerogoti jiwanya, ibuku diikat-ibuku meronta-ibuku dimasukan kekerangkeng, kini aku disini.

Aku dendam, benci, mengapa mereka selalu berbuat biadab begitu? Mengapa mereka selalu mengancam keluargaku dan kini diriku?

Kenapa mereka membunuh ibuku dan sekarang mereka akan membunuhku?
Kumakan apa yang mereka sediakan, dua butir telur mata sapi dan segenggam nasi serta empat potong buncis besar berwarna hijau tua. Aku baru merasa lapar. Entah sejak kapan aku tak makan, badanku kurus tapi tidak sekotor dulu lagi. Sehabis makan ada seorang wanita dan dua orang laki-laku berpakaian serba putih datang keruangan tempat aku terbaring. Ruang tempat aku disekap lebih tepatnya. Kali ini aku tak diikat. 

Tanpa berkata-kata seorang laki berbadan tambun dengan giginya yang bertumpuk-tumpuk digusinya memberikan isyarat padaku agar keluar dari ruang sempit ini.

Di bawanya aku keruang yang lebih luas, melewati lorong yang panjang, setiap lorong terdapat bagian-bagian yang dipisahkan oleh pintu yang selalu tertutup. Dengan memasukan kelima jari pada alat scanning maka pintu pun terbuka. Lalu disuruhnya aku masuk kesalah satu ruangan yang berjejer pintunya dilorong. Satu ruangan yang nyaman, pemandangan yang indah. Tidak hanya putih, tapi banyak warna. Aku dapat melihat pepohonan sebagai cakrawala. Aku dapat melihat indahnya langit biru dan air sungai yang mengalir.
Kulihat seorang wanita setengah baya yang keibuan dengan kacamata dikepalanya, tersenyum Ia padaku. Ia memakai baju stelan warna merah muda, sungguh pemandangan yang menghibur hati setelah beberapa waktu aku tidak pernah melihat warna cerah selain warna putih. Ragu-ragu dan kikuk aku membalas senyumnya.

“Duduklah” Ia mempersilahkan aku duduk. Kuhempaskan pantatku dengan hati-hati di kursi biru empuk ini.
“Saya Dokter Ajeng, panggil saya Dok.  Kamu david ya?” aku hanya mengangguk, aku terlalu terpesona melihat gaya bicaranya, lihat saja tubuhnya semampai, kulitnya bersih, giginya putih berderet-deret bagai biji kurma berbaris, senyumnya bagai mentari dipagi yang cerah dan belum apa-apa aku telah merasakan euforia didepannya. Belum pernah aku merasa seperti ini sepanjang hidupku, kupikir aku jatuh cinta pada dokter ini.

“Kamu tahu kenapa kamu bisa ada disini?” aku menggeleng, Ia hanya tersenyum, mungkin ia ingin mendengar suaraku, lalu Ia bertanya lagi ”umur kamu berapa..?” aku menggeleng ”Tak tahu” Suaraku parau dan gelisah, aduh mengapa aku seperti ini, tersenyum lagi Ia. Ah giginya indah sekali, lalu hampir saja aku berkhayal, tapi dokter itu bertanya dengan suara yg agak lebih keras ”Kamu sudah makan?” terkejut aku di bangunkan dari mimpiku ”su..sudah dok…” kenapa aku cemas, tiba-tiba aku berkeringat.

Seperti gunung es yang tinggi bergumpal, aku tertiup angin dingin membeku dalam keheningan, lalu mencair bagai berkubik-kubik air hujan yang ditumpahkan dari langit.

Diambilnya sebuah map, Ia baca sebentar. Tersenyum kembali, aduhai sangatlah ramah dan mempesona, tak ada manusia satupun yang mampu tersenyum menggetarkan hatiku. “Maukah kamu berbincang dengan saya sebentar david?” aku mengangguk, senang sekali, tapi sedikit keraguan di mataku ”Benarkah??” 

“Saya sangat senang dengan perkembanganmu selama disini, kamu tahu disini tempat apa?” aku hanya menggeleng untuk kesekian kalinya, ingin kubicara tapi aku takut, hanya gumaman saja yang terdengar. Lidahku terasa kelu tak bertenaga. “David ini adalah pusat rehabilitasi kejiwaan, kamu ada disini setelah dititipkan oleh pihak kepolisian kepada kami, kamu masih ingat kenapa mereka menitipkan kamu disini?” Aku bingung tak tahu harus menjawab apa “Tidak…” jawabku gamang.

“Baiklah, coba kamu ingat-ingat dimana terakhir kali kamu berada sebelum kesini..?” Tanya dokter.

Terdiam aku beberapa saat mencoba untuk mengingat, ya aku ingat, aku belumlah cukup pelupa hanya untuk mengingat kejadian beberapa saat lalu “Dirumah teman, doc”
“Teman yang mana?”
“Dirumah Nyonya Kitty, doc…” ujarku yakin.
Diam Ia sebentar sambil membetulkan letak kacamatanya, lalu bertanya kembali,
 ”Dimana rumah Nyonya Kitty?”
“Didekat rumah Joe, doc…”
“Joe siapa??”
“Salah satu temanku”
“Coba ceritakan tentang temanmu itu…”
“Yang mana doc?”
“Semuanya….semua teman baikmu yang kau kenal, tidak keberatan bukan?”
“Ti..tidak doc…” oh kenapa tiba-tiba aku merinding dan merasa mual.

Tubuhku  basah, keringat membanjiri semua poriku, padahal disini ruangan yang dingin.



Sayup kudengar suara anak kecil bersenandung, ah suara Michael, ah bukan itu suara si kecil Mary,  ah Michael aku yakin itu Michael si berandal kecil yang selalu tertawa riang. Semakin sayup suara senandung itu makin terdengar dekat, 

“Old McDonald Had a farm, eaiao..and on that farm he had a cat eaiao”

Tiba-tiba aku rindu pada anak itu, “MIKE…!! Dimana kau…?” aku mencarinya, tatapan ku berkeliling…aku sangat rindu anak itu…, dia yang biasa mengajakku bermain, kadang Ia minta ditemani main scrabble, monopoli atau mengajakku jalan-jalan ketaman untuk main freesbee. “MIKE…!!” sekali lagi aku berteriak memanggil “MIKE!!” 



Tiba-tiba pintu terbuka, kukira Mike yang membuka pintu itu, ternyata dua orang pria berbaju putih, yang mengeluarkan aku dari ruang sekap itu. Di pegangnya kedua tanganku dengan keras. “Dokter, aku mendengar suara Mike…” aku coba menjelaskan dengan antusias.

“David, beristirahatlah…, selepas makan siang kita berbincang lagi” Ujar Dokter itu perlahan, aku mencoba menjelaskan dengan sedikit berteriak ”Mike…mike…Dokter aku betul mendengarnya”.


***

Terkurung kembali aku dalam khayal yang begitu nyata, entah mengapa aku tak menemukan Mike, Nyonya Kitty, Joe dan Mary, dimana kalian? Aku terkurung disini, temani aku, aku kesepian, hanya dokter itu yang mau berbicara denganku, kemana kalian? Aku menangis meratapi kesendirianku.

“Jangan tinggalkan aku disini-sendiri” 

to be continue