Selama ini pelayanan public di Indonesia di dominasi oleh pihak pemerintah. Dari pengurusan KTP, surat pindah, akta kelahiran sampai pada semua akses yang kita anggap biasa seperti naik kendaraan umum pun di kelola oleh pemerintah.
Sebagai Negara yang semi liberal, swasta pun tidak kalah dalam hal pelayanan publiknya. Banyak sekali swasta memegang peranan dalam layanan public dari akses kendaraan umum hingga provider-provider canggih penyedia layanan komunikasi.
Pelayanan adalah suatu nilai dari puas atau tidak puas bagi customer. Penilaian-penilaian tersebut akan mengakar di benak kita, hingga kita akan menjadi suatu corong khusus untuk memberikan nilai plus atau minus bagi pelayanan yang di berikan mereka pada kita sebagai pemakai layanan khusus.
Baiklah sebelum lebih jauh kita berbicara pelayanan mari kita sisihkan dahulu pelayanan yang diberikan pemerintah maupun swasta. Kita akan melihat kultur pelayanan itu sendiri. Karena setiap bangsa akan memiliki hal yang berbeda dalam memberikan pelayanan public.
Entah bagaimana mulanya pelayanan public entah yg di kelola swasta maupun pemerintah kadang kurang menyenangkan di hati kita. Terkadang saya berpikir apakah hal ini di pengaruhi oleh rezim militer yang notabene 32 tahun memayungi kita ataukah memang factor kultur bangsa ini yang memiliki faham fatherelisme.
Artinya factor kebapakan (fatherilisme) cenderung menganggap seseorang yang membutuhkan sesuatu itu lebih rendah dari yang memberi. Padahal dalam era pasar bebas kini pelayanan pada customer adalah merajakan mereka agar terus menerus menjadi pelanggan dari suatu usaha tertentu.
Saya pernah menjadi nasabah di salah satu bank pemerintah. Saya ketika itu masih belajar menabung dan bagaimana mengelola uang. Bagaimana para petugas bank pemerintah itu memberikan pelayanan dengan tampang yang serius tak pernah senyum seakan-akan memberikan pelayanan itu adalah beban. Padahal kita menabung adalah suatu bentuk disvestasi bagi perusahaan yang menggajinya. Tak jarang orang yang belum mengerti alur menabung di bentak-bentak seakan ketidak-tahuan adalah suatu kesalahan.
Namun lihatlah sekarang seiring berjalannya waktu bermunculan bank-bank swasta yang lebih memberikan sedikit penghargaan bagi para penabung (investor). Yang otomatis membuat saya pindah menabung ke bank swasta tersebut. Walaupun kini bank-bank pemerintah telah mendidik pegawainya agar lebih care kepada customernya. Tapi itu tidak menjadikan saya lebih tertarik untuk melakukan transaksi dengan mereka.
Image yang mengakar kuat telah menjadikan sesuatu menjadi hitam atau putih. Oleh karena itu apa yang saya dapat itu adalah apa yang saya pikirkan selama ini.
Terus terang saya pun salah satu karyawan disuatu instansi pemerintah. Yang harus melayani masyarakat. Bagaimana jeleknya image pada instansi saya yang di kenal kolusi tiga besar di Negara ini.
Bagaiamana saya berpikir dan memiliki pandangan yang buruk terhadap kinerja pemerintah dalam hal pelayanan public. Mungkin dimiliki juga oleh sebagian masyarakat di Indonesia.
Memang tak dipungkiri bagaimana pun alasannya maka kinerja pemerintah adalah buruk. Bagaimana pun kerasnya usaha mereka kini untuk menuju iklim reformasi yang bersih dari KKN.
Pernah suatu ketika stakeholder mendatangi ruangan saya dalam kaitannya dengan pengurusan dokumen yang dimilikinya. Ia memaki-maki instansi saya bagaimana lambannya proses birokrasi yang ada dan tak bertanggung jawabnya manager saya yang mengabaikan keluhannya.
Sadar atau tidak sebagai manusia yang memiliki emosi dan perasaan, saya ingin pula melayani cacian dan makiannya. Hanya saja saya mencoba menahan diri agar hal-hal yang buruk tidak perlu terjadi. Setelah saya dengarkan keluhannya dan tentu saja makiannya. Saya berusaha untuk menenangkannya. Lalu sedikit demi sedikit memberikan bantuan. Hingga masalahnya berhasil terselesaikan tanpa ada konfrontasi yang memang tak perlu terjadi.
Memang saya akui kekurangan di instansi pemerintah adalah layanan penerangan atau informasi mengenai peraturan-peraturan yang berlaku bagi stakeholder. Terkadang mereka menganggap peraturan itu mengada-ada dan hanya memperpanjang meja yang harus mereka lewati dalam penyelesaian dokumennya.
Mungkin hal ini secara system harus dirubah secara fundamental agar sesuatu yang bersifat birokrat yang melewatkan belasan meja harus di hilangkan.
Oleh karena itu system secara elektronik telah di kembangkan diinstansi saya bekerja, semenjak sekitar 10 tahun yang lalu. Ketergantungan stakeholder dengan pegawai menjadi lebih sedikit. Karena di sinyalir dari banyaknya meja akan lebih memperpanjang proses looping dan itu adalah hal yang sangat membuang waktu, tenaga dan uang.
Saya pernah melihat disuatu acara di indosiar bagaimana seorang bupati memberlakukan pelayanan dalam satu atap yang sekarang mulai kami kembangkan menjadi suatu system single window. Jadi para stakeholder tidak perlu mengurus suatu dokumen berpindah ke gedung sana ke gedung sini yang berjauhan. Cukup dalam satu ruangan hingga proses itu berlangsung hingga selesai.
Mudah-mudahan dengan pelayanan public yang lebih sistematis dan efisien tanpa pungutan-pungutan liar yang merugikan masyarakat dapat terwujud di republic Indonesia. Dan mudah-mudahan iklim investasi di Indonesia akan seramai di Negara-negara asia tenggara lainnya yang memberlakukan kemudahan-kemudahan dan perlindungan yang jelas bagi investor asing untuk menanam modal di Negara ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar