Coba lihat kepada langit apa ada jawabnya.
Keputus-asaan dalam diriku telah mengakar kuat. Bahkan beberapa kali aku mencoba ingin mengakhiri hidupku. Tapi tak pernah terjadi sekalipun aku melakukan hal itu, sering ku melamun terbengong dengan penuh cerita dalam otakku.
Hingga suatu ketika aku menemukan diriku bertemankan dengan khayalanku sendiri. Yang begitu nyata disemua inderaku. Aku dapat mendengarnya tertawa, mendesah, berkata. Aku dapat melihatnya tersenyum, aku dapat melihat bentuk tubuhnya yang gemulai. Aku dapat merasakan deru napasnya, aku dapat memeluk raganya. Semakin hari semakin banyak temanku, ada nenek tua berambut putih yang selalu bercerita kepadaku tentang masa lalu, tentang bagaimana manusia dahulu kala. Ada anak kecil yang selalu minta diajari segala hal tentang hidup, selalu mengajakku bercanda. Ada seorang gadis yg baik hati, yang selalu mau mendengarkanku berkeluh kesah. Ada seorang pemuda berandal yang selalu mengajakku untuk bersikap berani, berani menghadapi dunia ini, entah berapa teman lagi yg akan ku kenal nanti.
Aku senang bertemu dengan mereka, aku bahkan lebih senang kepada mereka dari pada sesuatu disekelilingku. Aku bisa bercanda, tertawa penuh bahagia, mereka tak pernah menuntutku harus melakukan ini-itu.
Aku mulai hanyut oleh permainan pikiranku, tak pernah sedikitpun aku mengingat siputih kucingku yg kurawat semenjak kutemukan di pinggir got rumahku, aku lupa kehadiran siputih yg selalu mengeong menuntut kasih sayang dan sedikit makanan dari tuannya.
Aku sudah masuk ke dunia lain, duniaku sendiri. Dunia yang menyenangkan, tak ada lagi kekerasan, kebrutalan dan caci maki dari masyarakat yang penuh dengan sinisme.
Aku hidup tentram disini, hingga suatu waktu.
Mulutku di bekap bagai sandera. Kakiku dirantai bagai tahanan berbahaya. Tanganku diikat kebelakang dengan jaket bertali, entah apa ini, entah mengapa aku berada disini, diruang yang sempit, polos tak berbenda, tapi tempat ini nyaman. Sayup suara terdengar dari liang kecil dibawah pintu. Benar, ini mirip pintu, tapi tak seperti pintu. Ada selarik suara manusia saling berbicara.
Ku teriak, tapi tak jelas suaraku ini, tak jelas aku berkata apa. Hatiku ingin memanggil nenek tua itu, nenek tua berambut putih, hanya dia yg mampu menenangkanku, tapi kemana dia? Kupanggil anak kecil itu, yang selalu tertawa bersamaku. Sunyi terdiam seribu bahasa. Semua telah kuteriakan namanya, tak ada yg menghampiriku.
Tuhan dimana aku? Surga kah? Neraka kah??
Keputus-asaan dalam diriku telah mengakar kuat. Bahkan beberapa kali aku mencoba ingin mengakhiri hidupku. Tapi tak pernah terjadi sekalipun aku melakukan hal itu, sering ku melamun terbengong dengan penuh cerita dalam otakku.
Hingga suatu ketika aku menemukan diriku bertemankan dengan khayalanku sendiri. Yang begitu nyata disemua inderaku. Aku dapat mendengarnya tertawa, mendesah, berkata. Aku dapat melihatnya tersenyum, aku dapat melihat bentuk tubuhnya yang gemulai. Aku dapat merasakan deru napasnya, aku dapat memeluk raganya. Semakin hari semakin banyak temanku, ada nenek tua berambut putih yang selalu bercerita kepadaku tentang masa lalu, tentang bagaimana manusia dahulu kala. Ada anak kecil yang selalu minta diajari segala hal tentang hidup, selalu mengajakku bercanda. Ada seorang gadis yg baik hati, yang selalu mau mendengarkanku berkeluh kesah. Ada seorang pemuda berandal yang selalu mengajakku untuk bersikap berani, berani menghadapi dunia ini, entah berapa teman lagi yg akan ku kenal nanti.
Aku senang bertemu dengan mereka, aku bahkan lebih senang kepada mereka dari pada sesuatu disekelilingku. Aku bisa bercanda, tertawa penuh bahagia, mereka tak pernah menuntutku harus melakukan ini-itu.
Aku mulai hanyut oleh permainan pikiranku, tak pernah sedikitpun aku mengingat siputih kucingku yg kurawat semenjak kutemukan di pinggir got rumahku, aku lupa kehadiran siputih yg selalu mengeong menuntut kasih sayang dan sedikit makanan dari tuannya.
Aku sudah masuk ke dunia lain, duniaku sendiri. Dunia yang menyenangkan, tak ada lagi kekerasan, kebrutalan dan caci maki dari masyarakat yang penuh dengan sinisme.
Aku hidup tentram disini, hingga suatu waktu.
Mulutku di bekap bagai sandera. Kakiku dirantai bagai tahanan berbahaya. Tanganku diikat kebelakang dengan jaket bertali, entah apa ini, entah mengapa aku berada disini, diruang yang sempit, polos tak berbenda, tapi tempat ini nyaman. Sayup suara terdengar dari liang kecil dibawah pintu. Benar, ini mirip pintu, tapi tak seperti pintu. Ada selarik suara manusia saling berbicara.
Ku teriak, tapi tak jelas suaraku ini, tak jelas aku berkata apa. Hatiku ingin memanggil nenek tua itu, nenek tua berambut putih, hanya dia yg mampu menenangkanku, tapi kemana dia? Kupanggil anak kecil itu, yang selalu tertawa bersamaku. Sunyi terdiam seribu bahasa. Semua telah kuteriakan namanya, tak ada yg menghampiriku.
Tuhan dimana aku? Surga kah? Neraka kah??
Begitu hampa…kau beri rasa…kini dimanakah aku…??
Aku selalu bertanya, kenapa aku tak merasakan apa-apa lagi? Kemana teman ku? kemana semua duniaku?
Aku selalu merasa lelah dan mengantuk!
Tanganku tak lagi berpengikat, kakiku tak lagi di rantai, mulutku tak lagi di bekap bagai anjing rabies.
Kuraba wajahku, kuraba badanku-lengkap-semua masih pada posisinya.
Kulihat pergelangan tanganku, biru lebam, kulihat tanganku lagi, owh Tuhan, apa ini?? Bekas suntikan?? Aku di suntik! Jahanam!!
Aku benci jarum suntik, aku paling takut jarum suntik. Aku selalu kabur dari sekolah ketika ada imunisasi cacar datang ke sekolahku ketika aku bersekolah SD. Aku benci orang-orang itu, orang-orang yg berseragam putih. Mereka selalu menyakitiku. Aku selalu dipaksa untuk menelan butiran zat kimia, yang selalu membuat jantungku berdetak amat keras. Mereka yang dulu menyakiti ibuku juga, yg selalu membuat ibuku mengeluarkan air mata di sudut matanya menahan nyeri yang menggerogoti jiwanya, ibuku diikat-ibuku meronta-ibuku dimasukan kekerangkeng, kini aku disini.
Aku dendam, benci, mengapa mereka selalu berbuat biadab begitu? Mengapa mereka selalu mengancam keluargaku dan kini diriku?
Kenapa mereka membunuh ibuku dan sekarang mereka akan membunuhku?
Aku selalu bertanya, kenapa aku tak merasakan apa-apa lagi? Kemana teman ku? kemana semua duniaku?
Aku selalu merasa lelah dan mengantuk!
Tanganku tak lagi berpengikat, kakiku tak lagi di rantai, mulutku tak lagi di bekap bagai anjing rabies.
Kuraba wajahku, kuraba badanku-lengkap-semua masih pada posisinya.
Kulihat pergelangan tanganku, biru lebam, kulihat tanganku lagi, owh Tuhan, apa ini?? Bekas suntikan?? Aku di suntik! Jahanam!!
Aku benci jarum suntik, aku paling takut jarum suntik. Aku selalu kabur dari sekolah ketika ada imunisasi cacar datang ke sekolahku ketika aku bersekolah SD. Aku benci orang-orang itu, orang-orang yg berseragam putih. Mereka selalu menyakitiku. Aku selalu dipaksa untuk menelan butiran zat kimia, yang selalu membuat jantungku berdetak amat keras. Mereka yang dulu menyakiti ibuku juga, yg selalu membuat ibuku mengeluarkan air mata di sudut matanya menahan nyeri yang menggerogoti jiwanya, ibuku diikat-ibuku meronta-ibuku dimasukan kekerangkeng, kini aku disini.
Aku dendam, benci, mengapa mereka selalu berbuat biadab begitu? Mengapa mereka selalu mengancam keluargaku dan kini diriku?
Kenapa mereka membunuh ibuku dan sekarang mereka akan membunuhku?
Kumakan apa yang mereka sediakan, dua butir telur mata sapi dan segenggam nasi serta empat potong buncis besar berwarna hijau tua. Aku baru merasa lapar. Entah sejak kapan aku tak makan, badanku kurus tapi tidak sekotor dulu lagi. Sehabis makan ada seorang wanita dan dua orang laki-laku berpakaian serba putih datang keruangan tempat aku terbaring. Ruang tempat aku disekap lebih tepatnya. Kali ini aku tak diikat.
Tanpa berkata-kata seorang laki berbadan tambun dengan giginya yang bertumpuk-tumpuk digusinya memberikan isyarat padaku agar keluar dari ruang sempit ini.
Di bawanya aku keruang yang lebih luas, melewati lorong yang panjang, setiap lorong terdapat bagian-bagian yang dipisahkan oleh pintu yang selalu tertutup. Dengan memasukan kelima jari pada alat scanning maka pintu pun terbuka. Lalu disuruhnya aku masuk kesalah satu ruangan yang berjejer pintunya dilorong. Satu ruangan yang nyaman, pemandangan yang indah. Tidak hanya putih, tapi banyak warna. Aku dapat melihat pepohonan sebagai cakrawala. Aku dapat melihat indahnya langit biru dan air sungai yang mengalir.
Di bawanya aku keruang yang lebih luas, melewati lorong yang panjang, setiap lorong terdapat bagian-bagian yang dipisahkan oleh pintu yang selalu tertutup. Dengan memasukan kelima jari pada alat scanning maka pintu pun terbuka. Lalu disuruhnya aku masuk kesalah satu ruangan yang berjejer pintunya dilorong. Satu ruangan yang nyaman, pemandangan yang indah. Tidak hanya putih, tapi banyak warna. Aku dapat melihat pepohonan sebagai cakrawala. Aku dapat melihat indahnya langit biru dan air sungai yang mengalir.
Kulihat seorang wanita setengah baya yang keibuan dengan kacamata dikepalanya, tersenyum Ia padaku. Ia memakai baju stelan warna merah muda, sungguh pemandangan yang menghibur hati setelah beberapa waktu aku tidak pernah melihat warna cerah selain warna putih. Ragu-ragu dan kikuk aku membalas senyumnya.
“Duduklah” Ia mempersilahkan aku duduk. Kuhempaskan pantatku dengan hati-hati di kursi biru empuk ini.
“Saya Dokter Ajeng, panggil saya Dok. Kamu david ya?” aku hanya mengangguk, aku terlalu terpesona melihat gaya bicaranya, lihat saja tubuhnya semampai, kulitnya bersih, giginya putih berderet-deret bagai biji kurma berbaris, senyumnya bagai mentari dipagi yang cerah dan belum apa-apa aku telah merasakan euforia didepannya. Belum pernah aku merasa seperti ini sepanjang hidupku, kupikir aku jatuh cinta pada dokter ini.
“Kamu tahu kenapa kamu bisa ada disini?” aku menggeleng, Ia hanya tersenyum, mungkin ia ingin mendengar suaraku, lalu Ia bertanya lagi ”umur kamu berapa..?” aku menggeleng ”Tak tahu” Suaraku parau dan gelisah, aduh mengapa aku seperti ini, tersenyum lagi Ia. Ah giginya indah sekali, lalu hampir saja aku berkhayal, tapi dokter itu bertanya dengan suara yg agak lebih keras ”Kamu sudah makan?” terkejut aku di bangunkan dari mimpiku ”su..sudah dok…” kenapa aku cemas, tiba-tiba aku berkeringat.
Seperti gunung es yang tinggi bergumpal, aku tertiup angin dingin membeku dalam keheningan, lalu mencair bagai berkubik-kubik air hujan yang ditumpahkan dari langit.
Diambilnya sebuah map, Ia baca sebentar. Tersenyum kembali, aduhai sangatlah ramah dan mempesona, tak ada manusia satupun yang mampu tersenyum menggetarkan hatiku. “Maukah kamu berbincang dengan saya sebentar david?” aku mengangguk, senang sekali, tapi sedikit keraguan di mataku ”Benarkah??”
“Saya sangat senang dengan perkembanganmu selama disini, kamu tahu disini tempat apa?” aku hanya menggeleng untuk kesekian kalinya, ingin kubicara tapi aku takut, hanya gumaman saja yang terdengar. Lidahku terasa kelu tak bertenaga. “David ini adalah pusat rehabilitasi kejiwaan, kamu ada disini setelah dititipkan oleh pihak kepolisian kepada kami, kamu masih ingat kenapa mereka menitipkan kamu disini?” Aku bingung tak tahu harus menjawab apa “Tidak…” jawabku gamang.
Diambilnya sebuah map, Ia baca sebentar. Tersenyum kembali, aduhai sangatlah ramah dan mempesona, tak ada manusia satupun yang mampu tersenyum menggetarkan hatiku. “Maukah kamu berbincang dengan saya sebentar david?” aku mengangguk, senang sekali, tapi sedikit keraguan di mataku ”Benarkah??”
“Saya sangat senang dengan perkembanganmu selama disini, kamu tahu disini tempat apa?” aku hanya menggeleng untuk kesekian kalinya, ingin kubicara tapi aku takut, hanya gumaman saja yang terdengar. Lidahku terasa kelu tak bertenaga. “David ini adalah pusat rehabilitasi kejiwaan, kamu ada disini setelah dititipkan oleh pihak kepolisian kepada kami, kamu masih ingat kenapa mereka menitipkan kamu disini?” Aku bingung tak tahu harus menjawab apa “Tidak…” jawabku gamang.
“Baiklah, coba kamu ingat-ingat dimana terakhir kali kamu berada sebelum kesini..?” Tanya dokter.
Terdiam aku beberapa saat mencoba untuk mengingat, ya aku ingat, aku belumlah cukup pelupa hanya untuk mengingat kejadian beberapa saat lalu “Dirumah teman, doc”
“Teman yang mana?”
“Dirumah Nyonya Kitty, doc…” ujarku yakin.
Diam Ia sebentar sambil membetulkan letak kacamatanya, lalu bertanya kembali,
”Dimana rumah Nyonya Kitty?”
“Didekat rumah Joe, doc…”
“Joe siapa??”
“Salah satu temanku”
“Coba ceritakan tentang temanmu itu…”
“Yang mana doc?”
“Semuanya….semua teman baikmu yang kau kenal, tidak keberatan bukan?”
“Ti..tidak doc…” oh kenapa tiba-tiba aku merinding dan merasa mual.
Tubuhku basah, keringat membanjiri semua poriku, padahal disini ruangan yang dingin.
Sayup kudengar suara anak kecil bersenandung, ah suara Michael, ah bukan itu suara si kecil Mary, ah Michael aku yakin itu Michael si berandal kecil yang selalu tertawa riang. Semakin sayup suara senandung itu makin terdengar dekat,
“Old McDonald Had a farm, eaiao..and on that farm he had a cat eaiao”
Tiba-tiba aku rindu pada anak itu, “MIKE…!! Dimana kau…?” aku mencarinya, tatapan ku berkeliling…aku sangat rindu anak itu…, dia yang biasa mengajakku bermain, kadang Ia minta ditemani main scrabble, monopoli atau mengajakku jalan-jalan ketaman untuk main freesbee. “MIKE…!!” sekali lagi aku berteriak memanggil “MIKE!!”
Tiba-tiba pintu terbuka, kukira Mike yang membuka pintu itu, ternyata dua orang pria berbaju putih, yang mengeluarkan aku dari ruang sekap itu. Di pegangnya kedua tanganku dengan keras. “Dokter, aku mendengar suara Mike…” aku coba menjelaskan dengan antusias.
Tubuhku basah, keringat membanjiri semua poriku, padahal disini ruangan yang dingin.
Sayup kudengar suara anak kecil bersenandung, ah suara Michael, ah bukan itu suara si kecil Mary, ah Michael aku yakin itu Michael si berandal kecil yang selalu tertawa riang. Semakin sayup suara senandung itu makin terdengar dekat,
“Old McDonald Had a farm, eaiao..and on that farm he had a cat eaiao”
Tiba-tiba aku rindu pada anak itu, “MIKE…!! Dimana kau…?” aku mencarinya, tatapan ku berkeliling…aku sangat rindu anak itu…, dia yang biasa mengajakku bermain, kadang Ia minta ditemani main scrabble, monopoli atau mengajakku jalan-jalan ketaman untuk main freesbee. “MIKE…!!” sekali lagi aku berteriak memanggil “MIKE!!”
Tiba-tiba pintu terbuka, kukira Mike yang membuka pintu itu, ternyata dua orang pria berbaju putih, yang mengeluarkan aku dari ruang sekap itu. Di pegangnya kedua tanganku dengan keras. “Dokter, aku mendengar suara Mike…” aku coba menjelaskan dengan antusias.
“David, beristirahatlah…, selepas makan siang kita berbincang lagi” Ujar Dokter itu perlahan, aku mencoba menjelaskan dengan sedikit berteriak ”Mike…mike…Dokter aku betul mendengarnya”.
***
Terkurung kembali aku dalam khayal yang begitu nyata, entah mengapa aku tak menemukan Mike, Nyonya Kitty, Joe dan Mary, dimana kalian? Aku terkurung disini, temani aku, aku kesepian, hanya dokter itu yang mau berbicara denganku, kemana kalian? Aku menangis meratapi kesendirianku.
“Jangan tinggalkan aku disini-sendiri”
***
Terkurung kembali aku dalam khayal yang begitu nyata, entah mengapa aku tak menemukan Mike, Nyonya Kitty, Joe dan Mary, dimana kalian? Aku terkurung disini, temani aku, aku kesepian, hanya dokter itu yang mau berbicara denganku, kemana kalian? Aku menangis meratapi kesendirianku.
“Jangan tinggalkan aku disini-sendiri”
to be continue
Tidak ada komentar:
Posting Komentar